LAPORAN PELAKSANAAN
PROGRAM PENGEMBANGAN WILAYAH TERTINGGAL
DI PROPINSI SUMATERA BARAT
A. Pendahuluan.
Ketertinggalan atau under developmen, baik daerah maupun masyarakat merupakan kenyataan sekaligus problematika pembangunan di Indonesia. Ketertinggalan tersebut merujuk pada tiga aspek yaitu alamiah, cultural/budaya, dan struktural. Aspek alamiah dapat disebabkan oleh kelangkaan sumber daya alam dan posisi geografis yang tidak menguntungkan, Sumberdaya manusia tidak mendukung perkembangan karena rendahnya kualitas, aspek kultural sebagai akibat kultur dan kelembagaan yang menghambat proses kemajuan, sedangkan aspek Struktural sebagai akibat kebijakan pembangunan yang belum berpihak, khususnya dalam aspek pendanaan dan pembangunan infrastruktur.
Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan dilaksanakan di setiap wilayah dengan mendasarkan pada rasa keadilan, namun masalah ketimpangan antar wilayah masih juga terjadi dan saat ini merupakan masalah yang cukup serius. Upaya pembangunan pada wilayah yang relatif masih tertinggal terus dilakukan dan telah dimulai beberapa tahun yang lalu namun hasilnya masih belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tertinggal tersebut.
Daerah tertinggal, merupakan salah satu Prioritas Nasional dalam RPJM Nasional 2010-2014, sehingga menjadi kewajiban seluruh kementerian/lembaga dan daerah untuk memiliki kepedulian terhadap Daerah Tertinggal.
Di Sumatera Barat sebelumnya terdapat 9 Kabupaten tertinggal, kemudian pada tahun 2009 sudah terentaskan 1 Kabupaten yaitu Kabupaten Pasaman, sedangkan 8 kabupaten lagi masih tertinggal, yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Solok, Solok Selatan, Dharmasraya, Pesisir Selatan, Pasaman Barat, Sijunjung dan Kepulauan Mentawai. Penetapan kabupaten daerah tertinggal berdasarkan 6 kriteria dasar, yaitu kondisi perekonomian masyarakat, kondisi sosial masyarakat, ketersediaan infrastruktur, kemampuan keuangan daerah, aksesbilitas terhadap pelayanan publik, dan kondisi geografis yaitu daerah terpencil dan rawan bencana.
Wilayah tertinggal merupakan suatu daerah Kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain, yang disebabkan minimnya infrastruktur dasar, prasarana sosial dan pelayanan publik lainnya, Program Pengembangan Wilayah Tertinggal (PWT) Dirjen PMD Depdagri merupakan proyek percontohan (pilot porject) untuk menangani desa tertinggal. Inisiasinya dimulai pada Tahun Anggaran 2008 oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) Kementerian Dalam Negeri.
Pada awalnya, rumusan kebijakan PWT diturunkan dari salah satu agenda pembangunan nasional yang tercantum dalam RPJM Nasional 2004-2009, yakni agenda “Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia”. Agenda ketiga dari RPJMN 2004-2009 ini memiliki 3 sasaran, yaitu: (1) Menurunnya jumlah penduduk miskin; (2) Berkurangnya kesenjangan antar wilayah; dan (3) Meningkatnya kualitas manusia.
Sasaran pertama dan ketiga dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat Indonesia. Derajat pencapaian tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium. Sedangkan sasaran kedua dimaknai sebagai upaya untuk memperkecil kesenjangan tingkat kesejahteran rakyat Indonesia yang berada di berbagai wilayah atau daerah.
Dalam hal sasaran berkurangnya kesenjangan antar wilayah, parameter yang digunakan RPJMN 2004-2009 adalah: (1) Meningkatnya peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan; (2) Meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal; (3) Meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing kawasan dan produk-produk unggulan daerah; dan (4) Meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah.
Untuk mencapai sasaran di atas langkah yang ditempuh adalah dengan memprioritaskan pembangunan perdesaan dan pengurangan ketimpangan pembangunan. Kedua arahan kebijakan ini menjadi pijakan pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Tertinggal (PWT).
B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ;
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005, tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008, tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2008, tentang Perlimpahan dan Penugasan Urusan Pemerintah Lingkup Departemen Dalam Negeri Tahun 2009;
10. Peraturan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 07/PER/M-PDT/III/2007, tentang Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001/M-PDT/II/2005, tentang Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal;
11. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2008, tentang penetapan nama personil Struktur Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Propinsi Sumatera Barat;
12. Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Sumatera Barat Nomor : 383 Tahun 2010 Tentang Penetapan Lokasi Pilot Project Program Pengembangan Wilayah Tertinggal Propinsi Sumatera Barat di Kabupaten Solok Tahun 2010.
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Laporan ini dibuat sebagai bahan kajian dan evaluasi atas pelaksanaan Pilot Project Pengembangan Wilayah Tertinggal di Sumatera Barat pada Lokasi di Kabupaten Solok pada tahun 2010 dan 2011, Diharapkan berdasarkan laporan ini akan di peroleh sebuah metoda terbaik dalam pelaksanaan program sejenis/sama pada tahun-tahun selanjutnya sebagai program unggulan dari Kementerian Dalam Negeri.
D. TEMPAT DAN WAKTU KEGIATAN
Program Pilot Project pengembangan wilayah tertinggal (PWT) di Kabupaten Solok dilakukan pada 2 lokasi yakni (1); Nagari Supayang Kecamatan Payung Sekaki dengan Kelompok Usaha Ekonomi Supayang Jaya dan (2); Nagari Sungai Abu kecamatan Hiliran Gumanti dengan Kelompok Usaha Ekonomi Ahlusunnah waljamaah. Pelaksanaan program secara efektif dimulai pada awal Juli 2010 sd. Desember 2011.
E. PERJALANAN PROGRAM TAHUN 2010.
1. Ditetapkannya Kabupaten Solok sebagai Lokasi pilot project pengambangan wilayah tertinggal merupakan hasil rumusan rapat Tim Koordinasi Pengembangan Wilayah tertinggal tingkat Propinsi Sumatera Barat, dengan pertimbangan adalah Daerah yang mempunyai Potensi besar untuk berkembang dibandingkan daerah lain.
2. Dari hasil Rapat Tim Koordinasi ditingkat Propinsi, Program Pilot Proyek Pengembangan Wilayah tertinggal (PWT) tahun 2010 secara resmi diinformasikan kepada Pemerintah Kabupaten Solok melalui undangan dari Kepala BPM Provinsi Sumatera Barat kepada BPM dan Bappeda Kabupaten Solok pada Juni tahun 2010. Hasil dari pertemuan ini adalah menginformasikan tentang penunjukan Kabupaten Solok sebagai lokasi Pilot Proyek PWT tahun 2010 sekaligus meminta Pemerintah Kabupaten Solok melalui BPM dan Bappeda untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk mengusulkan lokasi/nagari calon penerima program yang disertai dengan RPJM Nagari masing-masing calon lokasi (sebanyak 6 calon lokasi) serta membawa Potensi Daerah serta Program Prioritas tahun berjalan yang belum terbiayai oleh anggaran daerah.
3. Berdasarkan hasil rapat Tim dengan aparat Kabupaten Solok diperolehnya 2 (dua) lokasi sasaran, Pemerintah Kabupaten Solok menindaklanjuti informasi dan keputusan rapat di atas dengan pengusulan 2 nagari calon penerima program yakni Nagari Supayang Kecamatan Payung Sekaki dan Nagari Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti.
4. Sebagai langkah persiapan dilakukan pelatihan dan pembekalan kelompok beserta aparatur terkait (Bappeda, BPM, Camat lokasi program) oleh BPM Provinsi guna menyampaikan beberapa kewajiban dan ketentuan program yang harus diikuti oleh Pemerintah Daerah bersama Kelompok guna mendapatkan alokasi program pilot proyek PWT di tahun 2010.
5. Rapat evaluasi dan persiapan administrasi kelompok untuk mendukung tekhnis program sebagaimana digariskan oleh Pemerintah propinsi. Rapat ini dilakukan di Bappeda Kabupaten Solok dan dihadiri oleh Kelompok, Wali Nagari, Camat, Bappeda dan BPM Kabupaten Solok .
6. Pada tanggal 21 s.d 23 Juli tahun 2010 dilakukan pelatihan dan pembekalan bagi kelompok calon penerima dengan fokus manajemen kelompok, sistem administrasi program (pelaporan dan SPJ) serta pembinaan tekhnik pemeliharaan sapi oleh dr.H. Armon selaku petugas khusus dari Dinas Terkait.
7. Sebelum penguatan permodalan direalisasikan terlebih dahulu dibuat kontrak kinerja antara Kuasa Pengguna Anggaran Dekonsentrasi dengan kedua Ketua Kelompok lokasi penerima bantuan dana stimulan PWT.
8. Transfer Dana dari BPM Provinsi langsung ke rekening kelompok masing-masing sebesar Rp. 115.000.000,- (seratus lima belas juta rupiah) untuk pembelian sapi untuk Nagari Supayang sebanyak 12 (dua belas) ekor sapi betina jenis Smental dan 11 (sebelas) ekor untuk Nagari Sungai Abu dengan perincia 1 (satu) ekor jenis Penjantan dan 10 (sepuluh) ekor jenis betina serta kebutuhan lainnya sebagaimana disepakati. Pembelian Sapi ini dilakukan oleh Kelompok dengan didampingi secara langsung oleh petugas peternakan (UPTD) sehingga menghindari terbelinya sapi dengan mutu rendah/tidak produktif.
9. Sistem pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh kelompok masing-masingnya dilakukan dengan uji Coba yang berbeda yaitu dengan cara antara lain :
a. Kelompok di Supayang
Kelompok Usaha Ekonomi Supayang Jaya menggunakan pola ”paduoan” dimana sapi merupakan aset kelompok dan ”dipaduokan” kepada anggota sehingga hasil nantinya dibagi untuk kelompok dan untuk anggota pemelihara. Hasil yang dikelompok ini nantinya akan dikumpulkan dan apabila dinilai cukup maka disalurkan lagi kepada pembelian induk sapi baru bagi anggota lainnya yang belum mendapatkan sapi bantuan. Pemeliharaan sapi dilakukan secara terpisah kerumah masing-masing anggota.
b. Kelompok di Sungai Abu
Kelompok Usaha Ekonomi Ahlusunnah waljamaah Panasahan Nagari Sungai Abu menggunakan pola pengelolaan sapi terintegrasi dimana 1 anggota diberi hak atas 1 ekor sapi namun diarahkan untuk dipelihara dalam satu kandang yang telah mereka sediakan secara swadaya. Anggota diberikan hak dan kewajiban sebagaimana Koperasi sehingga mereka diwajibkan untuk membayar iuran wajib/sukarela dan mereka memelihara sapi secara bersama-sama pula. Hasil dari pemeliharaan sapi nantinya akan dibagi secara adil. Namun pola yang diterapkan dikelompok ini belum 100% konsisten karena masih ada beberapa anggota yang memelihara sapi mereka dirumah masing-masing.
10. Pada akhir tahun 2011, berdasarkan Evaluasi dan Monitoring Tim Koordinasi Pengembangan Wilayah Tertinggal Propinsi Sumatera Barat atas Pilot Project di peroleh perkembangan usaha ekonomi produktif PWT antara lain :
a. Usaha Ekonomi Produktif kelompok Supayang Jaya yang menggunakan pola ”paduoan” dimana sapi di bagikan kepada anggota kelompok dan lokasi dekat dengan Pusat kecamatan dan UPT Perternakan sehingga pemberian IB untuk sapi lebih cepat, sehingga menunjukan hasil yang sangat baik dimana pada akhir Desember 2010 dari 12 (dua belas) ekor sapi yang di pelihara, dalam waktu 5 (lima) bulan pemeliharaan sudah menjadi 15 (lima belas) ekor, atau mempunyai anakan sebanyak 3 (tiga) ekor.
b. Usaha Ekonomi Produktif kelompok Ahlusunnah waljama’ah yang menggunakan pola terintegrasi dimana sapi di dikelompokan dalam satu areal, hal ini dikarenakan jauhnya kelompok dari pusat Kecamatan/UPT Perternakan dan sulit mendapatkan IB, sehingga Proses suntik sapi sulit dilakukan, sehingga sampai akhir Desember 2010 dari 10 (sepuluh) ekor sapi yang di pelihara, dalam waktu 5 (lima) bulan pemeliharaan belum menunjukan perkembangannya.
F. PERJALANAN PROGRAM TAHUN 2011
Pelaksanaan Pilot Project Program Pengembangan Wilayah Tertinggal di Propinsi Sumatera Barat tahun 2011, merupakan kelanjutan dari tahun 2010, dengan lokasi dan jenis usaha yang sama yaitu Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif jenis Smental.
Sebagai percepatan pengembangan usaha ekonomi produktif, kedua kelompok tersebut, melalui dana APBN dalam RKA/KL Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia diberikan penguatan permodalan masing-masing sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan jenis kegiatan yang didanai antara lain :
1. Kelompok di Supayang
Dengan baiknya Prospek pegembangan usaha peternakan sapi smental pada Kelompok Supayan Jaya Kenagarian Supayang pada tahun 2010, maka pada tahun 2011 akan dilanjutkan penguatan permodalan Stimulan sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk pembelian 3 (tiga) ekor sapi lagi, yaitu 1 (satu) ekor sapi penjantan dan 2 (dua) ekor sapi betina, yang diberikan kepada anggota kelompok yang pada tahun 2010 belum mendapatkannya.
2. Kelompok Allusunnah Waljama’ah Kenagarian Sungai Abu
Potensi dan Pemasaran Produk
a. Potensi yang dimiliki adalah lokasi dan lahan yang cukup luas untuk usaha peternakan sapi.
b. Kotoran sapi yang perlu dimanfaatkan dalam pembentuk pembuatan pupuk kompos dan bias dijadikan usaha tambahan dan peningkatan ekonomi kelompok
c. Hasil dari usaha peternakan ini dapat meningkatkan taraf ekonomi kelompok dan masyarakat Nagri Supayang.
Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh Kelompok Allusunnah Waljama’ah Kenagarian Sungai Abu, dan sebagai tindaklanjut dari pengembangan Usaha pada tahun 2011 maka alokasi anggaran akan ditujukan untuk membiayai kegiatan pembuatan kompos dengan rincian antara lain :
NO | URAIAN | SATUAN | VOLUME | HARGA SATUAN (Rp) | TOTAL (Rp) |
1 | Pengadaan Sarana Pembuatan kompas | ||||
a. Rumah kompos | unit | 1 | 5.000.000,- | 5.000.000,- | |
b. Bak penampungan kotoran | unit | 4 | 1.000.000,- | 4.000.000,- | |
c. Trikodarma | bks | 100 | 3.000,- | 300.000,- | |
d. Cangkul | bh | 8 | 100.000,- | 800.000,- | |
e. Skop | bh | 4 | 150.000,- | 600.000,- | |
f. Gerobak | bh | 4 | 500.000,- | 2.000.000,- | |
g. Karung kompos | helai | 500 | 2.500,- | 1.250.000,- | |
h. Ayakan kotoran | bh | 1 | 300.000,- | 300.000,- | |
i. Biaya pelatihan | org | 12 | - | 1.750.000,- | |
2 | Pengadaan Sapi | ekor | 1 | 7.000.000,- | 7.000.000,- |
3 | Transportasi | - | - | 1.000.000,- | 1.000.000,- |
4 | Administrasi | - | - | 1.000.000,- | 1.000.000,- |
Jumlah Total | 25.000.000,- |
G. KESIMPULAN.
Pilot Project Program Pengembangan Wilayah Tertinggal (PWT) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan (kapasitas) masyarakat menuju kemandirian, dengan sasarannya adalah Kelompok masyarakat di desa tertinggal, dengan komponen berupa peningkatan kapasitas pemerintah daerah, pemerintahan desa, dan masyarakat desa. Dengan kesimpulan pelaksanaan Program Sebagai berikut :
1. Propinsi Sumatera Barat yang dijadikan Pilot Project Pengambangan Wilayah Tertinggal di mulai sejak tahun 2010 adalah Kabupaten Solok dengan Lokasi adalah Kelompok Usaha Ekonomi Supayan Jaya Kenagarian Supayang Kecamatan Payung Sekaki, dan Kelompok Usaha Ekonomi Ahlusunnah Waljama’ah Nagari Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti.
2. Bantuan stimulan pilot project Pengembangan Wilayah Tertinggal di Sumatera Barat dialokasikan untuk Usaha Ekonomi Produktif Pengembangan Usaha Peternakan sapi jenis Smental, dengan ujicoba menggunakan 2 (dua) pola pelaksanaan yaitu : 1) Pola I, pada Nagari Supayang dilakukan dengan pola ”paduoan” (disebar pada rumah-rumah anggota kelompok) dimana sapi merupakan aset kelompok dan ”dipaduokan” kepada anggota sehingga hasil nantinya dibagi untuk kelompok dan untuk anggota pemelihara, Pemeliharaan sapi dilakukan secara terpisah kerumah masing-masing anggota. 2) Pola II kelompok Usaha Ekonomi Ahlusunnah waljamaah Nagari Sungai Abu menggunakan pola pengelolaan sapi terintegrasi dimana 1 anggota diberi hak atas 1 ekor sapi namun diarahkan untuk dipelihara dalam satu kandang yang telah mereka sediakan secara swadaya.
3. Pada akhir 2011 dari hasil monitoring dan Evaluasi Pilot Project pengembangan Wilayah Tertinggal oleh Tim Monitoring ke Kabupaten Solok, ditemui perkembangan sebagai berikut :
a. Perkembangan usaha pada kelompok Supayang Jaya yaitu dari dari 12 ekor sapi yang di pelihara dari pertenggahan tahun 2010, pada akhir 2011 (evektif pemeliharaan 1,5 Tahun) sudah berkembang menjadi 21 (dua puluh satu) ekor dengan pertambahan sebanyak 9 (sembilan) ekor. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lokasi pemeliharaan yang dekat dengan UPT peternakan sehingga proses kawin suntik untuk sapi cepat diperoleh.
b. Perkembangan usaha pada kelompok Ahllusunah Waljama’ah yaitu dari dari 11 ekor sapi yang di pelihara dari pertenggahan tahun 2010, pada akhir 2011 (evektif pemeliharaan 1,5 Tahun) baru bertambah sebanyak 2 (dua) ekor sehingga sekarang jumlah sapi menjadi 13 (tiga belas) ekor. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lokasi pemeliharaan yang jauh dari dengan UPT peternakan/Kecamatan sehingga disaat sapi mau kawin selalu pemberian kawin suntik (IB) mengalami keterlambatan, hal ini juga dipengaruhi oleh terbatasnya alat komunikasi di Nagari ini sehingga untuk menghubunggi petugas selalu mengalami hambatan.
4. Bantuan stimulan pilot project Pengembangan Wilayah Tertinggal tahun 2011, dialokasikan pada RKA/KL Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, dan sudah disalurkan pada kedua kelompok sebesar masing-masing Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) pada pertenggahan November 2011, dan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Koordinasi dari Propinsi sudah dimanfaatkan untuk :
a. Kelompok Supayang Jaya, dikarenakan usaha Peternakan Sapi smental di Daerah ini menunjukan Prospek yang baik, yang sesuai dengan potensi daerah, dan anggota kelompok tunggu banyak yang belum mendapatkan sapi, sehingga pada bulan Desember 2011, kelompok melalui dana stimulan PWT tahun 2011 menambah sapi sebanyak 3 (tiga) ekor dengan rincian 1 (satu) ekor jantan dan 2 (dua) ekor betina.
b. Kelompok Ahllusunnah Waljama’ah, dikarenakan permasalahan jarak antara UPT Peternakan yang jauh dari lokasi serta alat komunikasi yang terbatas, sedangkan areal nagari sungai abu merupakan daerah pertanian dan terkendalah dengan penyediaan pupuk, sehingga bantuan Stimulan dialokasi kan untuk biaya Pengadaan Sarana Pembuatan kompas.
Demikian laporan hasil pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Tertinggal di Sumatera Barat ini disampaikan, terima kasih.-
Padang, Desember 2011,-
(Badan Pemberdayaan Masyarakat)
0 komentar:
Posting Komentar